Ketika kau membaca
lembaran ini, entah seperti apa zaman mu Nak. Namun, ayah yakin. Selama
matahari masih enggan terbit di ufuk barat, zaman mu yang antah barantah itu,
pasti masih mengenal apa yang di sebut Tuhan.
Ayah ingin sedikit bercerita
tentang Tuhan di zaman ayah sekarang.
Dizaman saat, sebelum aku lahir, menurut cerita-cerita kakekmu, Tuhan memiliki wujud yang berbeda
dengan Tuhan yang dikenal kebanyakan orang pada zaman ku kini nak. Belakangan
ayah tau. Sebenarnya bukan Tuhan yang merubah wujudNya menjadi berbeda sesuai
zaman. Namun zamanlah yang terus gegabah menafsir dan merubah wujudNya.
Kakek bercerita;
mereka memahami Tuhan pada zaman itu, lebih seperti sesuatu yang didekati
secara sendiri-sendiri. Meski dalam kondisi berjama’ah sebagai umat, namun Tuhan
milik orang per orang.Lebih pribadi dan sendiri. Tuhan dipahami sebagai milik
setiap orang di hati mereka. Mereka menyembahnya dalam sepi yang khusuk dan
tawadu. Setiap orang secara sendiri-sendiri bebas berbicara denganNya, meski
dalam lingkup besar bernama “Islam”.
Di zaman ku kini
nak. Tuhan bergeser menjadi “keumatan” dengan berbagai identitas yang
mengklaimNya. Tuhan kini harus diperdebatkan sebagai “tata cara”, mazhab,
aliran,jargon bahkan ideology. Tuhan berganti nama menjadi “Islam” dengan
penegasan yang ketat. Bukan Islam dalam tafsir “rahmat bagi seluruh alam
semesta”. Kami didesak untuk berpihak dan tak bebas ber-Tuhan sesuai dengan apa
yang kami pahami dalam setiap lembaran Al-quran. Dan akhirnya kami pun khusuk
pada prosedur dan tata cara yang membuat Tuhan seperti administrasi birokratis.
Untuk menghadapNya harus berseragam dan tunduk pada protokoler.
Puisi-puisi Sufi
tentang “tanpa tapal batas” antara manusia dan Tuhan kini sekedar syair saja
dan bukan syiar. Padahal sudah jelas perkataanNya bahwa aku lebih dekat dari urat nadi mu, namun kini Tuhan menjadi sangat
jauh, tidak hanya di mata, tapi juga hati.
Akhirnya Nak … Tuhan
yang islam itu menjadi segerombolan “umat” yang gemar mengklaim kebenaran. Bukan
lagi barisan “berjama’ah” yang tuntas pada tataran tauhid dan bertoleran pada
sisi sujud.
Selain disandra
dalam sempitnya perdebatan “cara menyembah”, Tuhan juga dihimpit derasnya
komersialisasi. Mulai dari Tuhan yang bergelantungan di mal-mal sebagai penarik
konsumen dikala lebaran, sampai Tuhan yang menjadi mahal secara ekonomis,
karena harus ditemui di ruang-ruang seminar para motivator yang nyambi jadi ustad dan ustad yang sok-sok’an jadi motivator. Tuhan juga
menempati reting tertinggi pemberitaan pagi, ketika para kaum bersorban
mengacungkan golok, pada umat yang “berbeda” sesama Islam. Tuhan juga merebak
menjadi majelis-majelis taq’lim kosong nilai namun kaya gengsi.
Nak, seorang guru
sosiologi bernama Ernest Gellner yang ayah temui melalui risalahnya,
menyebutkan Tuhan di zaman kita ini sebagai “a
celebration of community” dimana dosa, hal-hal baik,tuduhan jahat dan
takaran pahala di tentukan melalui kesepakatan kelompok tertentu, yang
mengharamkan perbedaan. Meski,,, sama-sama beratas namakan umat dan Islam.
Sehingga anakku….perjalan
iman dan manusia di zaman ini, sering disekutukan dengan hal-hal yang
sebenarnya mengotori eksistensi Tuhan sendiri. Kalau dulu sekedar jimat yang
menjadi syirik, namun kini ada tafsir dan fatwa. Sekarang juga tidak hanya
patung yang menawan Tuhan dalam wujud sebenarnya, namun juga aturan dan ritual.
Jadilah Tuhan bukan sebuah entitas yang mencerahkan, namun pelarian galau-nya hidup dan bahkan terkadang mengancam dan otoriter.
Ada pergesaran
makna Tuhan di zaman yang sedang ayah jalani kini Nak. Baginda Rasullulah
pernah mengingatkan kita, tentang sebuah kondisi dimana umat seperti buih
dilautan yang terombang ambing tanpa arah dan tujuan. Menurut Baginda, itu
tanda-tanda akhir zaman. Wallahualam….ayah tidak mau cepat mengambil simpulan
terkait itu. ayah tetap optimis bahwa generasi selalu menjadi sesuatu yang
baru. Tadak hanya bagi peradaban namun juga bagi Pemilik peradaban (Tuhan).
Dan jika lembaran
ini sampai dihadapanmu,berarti zaman yang kuceritakan ini bukan akhir zaman dan
masih ada zamanmu. Pastikan kamu dan orang-orang yang hidup dizamanmu sebagai
generasi yang kembali. Sujudlah atas
nama Tuhanmu yang menciptakan langit dan bumi. Dan pastikan, kalian yang ada di
zamanmu bukan “umat” yang dalam
Al-Quran sebagai disebut sebagai pilihan penikmat
akhir zaman. Semoga !!!!